Sabtu, 09 Juli 2011

Studi Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kurangnya kepemilikan Jamban Di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka Tahun 2009


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat meaentukan kualitas Sumber Daya Manusia.Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikannya.Derajat Kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi derajat kesehatan.Termasuk lingkungan adalahkeadaanpemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat umum, air dan udara bersih, juga teknologi, pendidikan, sosial dan ekonomi. Sedangkan perilaku tergambar dalam kebiasaan sehari-hari seperti: pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya kesehatan,(Depkes RI,2009)
Kesehatan sangat diidamkan oleh setiap manusia dengan tidak membedakan status sosial maupun usia. Kita hendaknya menyadari bahwa kesehatan adalah sumber dari kesenangan, kenikmatan dan kebahagian. Untuk mempertahankan kesehatan yang baik kita harus mencegah banyaknya ancaman yang akan mengganggu kesehatan kita. Ancaman lainnya terhadap kesehatan adalah pembuangan kotoran (faces dan urina) yang tidak menurut aturan.Buang Air Besar (BAB) di sembarangan tempat itu berbahaya. Karena itu akan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit lewat lalat, udara dan air,(Winaryanto, 2009)
Ekskreta manusia merupakan sumber infeksi dan merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran lingkungan.Bahaya terhadap kesehatan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan perkembangbiakan lalat.Kotoran dari manusia yang sakit atau sebagai carrierdari suatu penyakit dapat menjadi sumber infeksi. Kotoran tersebut mengandung agens penyakit yang dapat ditularkan pada pejamu baru dengan perantara lalat, (Candra, 2006)
Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok karena kotoran manusia (faces) adalah sumber penyebaran penyakit multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manisia antara lain tifus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita), schistosomiasis, (Notoatmodjo, 2007)
Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup sehat.Dalam pembuatan jamban sedapat mungkin harus diusahakan agar jamban tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Penduduk Indonesia yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54 % saja padahal menurut studi menunjukkan bahwa penggunaan jamban sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28% demikian penegasan Menteri Kesehatan dr. Achmad Sujudi, September 2004,(Depkes RI,2009)
Masih banyaknya masyarakat yang buang air besar di sembarang tempat seperti di pesisir pantai, pinggiran sungai serta di semak-semak bukan hal yang baru lagi karena luasnya lahan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk membuang hajat atau faces,(Aryani, 2009)
Pekerjaan masyarakat yang kebanyakan sebagai nelayan dan petani serta pendapatan masyarakat yang masih kurang ditambah lagi mahalnya harga kloset di pasaran menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pembuatan jamban keluarga, (Winaryanto, 2009)
Hasil survey pada bulan Mei sampai Agustus tahun 2009 diketahui bahwa di Desa Donggala terdapat 1689 jiwa atau 350 kepala keluarga dan yang memiliki jamban hanya 37,14 % atau 130 kepala keluarga saja. Sedangkan62,86 % atau 220 kepala keluarga yang tidak memiliki jamban dan ini sangat memprihatinkan.
Dengan adanya masalah di atas peneliti tertarik untuk meneliti di Desa Donggala dengan judul “Studi Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kurangnya kepemilikan Jamban Di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka Tahun 2009.”
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka timbul rumusan masalah dalam peneliti ini : faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kurangnya kepemilikan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo  Kabupaten Kolaka tahun 2009.


C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat terhadap kurangnya kepemilikan jamban di Donggala Kecamatan Wolo  Kabupaten Kolaka tahun 2009.
2.      Tujuan Khusus
a)      Mengidentifikasi tingkat ekonomi masyarakat terhadap kurangnya kepemilikan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo  Kabupaten Kolaka.
b)      Mengidentifikasi kebiasaan masyarakat terhadap penggunaan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo  Kabupaten Kolaka.
D.    Manfaat Penelitian
1.      Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Diploma III Keperawatan.
2.      Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bacaan ilmiah bagi masyarakat.
3.      Hasil penelitian ini diharapkan agar menjadikan salah satu sumber informasi terhadap instansi yang terkait, khususnya masyarakat Desa Donggala itu sendiri sebagai bahan masukan.
4.      Bahan acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya Institusi Akper Pemda Kolaka.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Umum Tentang Jamban
1.      Definisi
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya serta mempunyai persyaratan sebagai berikut:
(Notoatmodjo, 2007)
a.       Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindungi dari panas dan hujan, serangga serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya
b.      Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat tempat terpijak yang kuat.
c.       Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau.
d.      Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.


Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jamban adalah sabagai berikut :
(Arif, 2009)
a.       Tidak mengakibatkan pencemaran pada sumber-sumber air minum, dan permukaan tanah yang ada disekitar jamban;
b.      Menghindarkan berkembangbiaknya/tersebarnya cacing tambang pada permukaan tanah;
c.       Tidak memungkinkan berkembang biaknya lalat dan serangga lain;
d.      Menghindarkan atau mencegah timbulnya bau dan pemandangan yang tidak menyedapkan;
e.       Mengusahakan kontruksi yang sederhana, kuat dan murah;
f.       Mengusahakan sistem yang dapat digunakan dan diterima masyarakat setempat.
2.      Macam-macam jamban dan cara pembuatannya
Ada beberapa macam jamban yang sesuai dengan konstruksi dan cara pembuatannya (ada 4 macam) jamban:
(Entjang, 2000)
a.       Kakus cemplung
Bentuk kakus ini adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan pada masyarakat.Nama ini dipakai bila orang menggunakan kakus jenis ini (membuang kotorannya kekakus semacam ini), maka kotorannya lansung masuk jatuh kedalam tempat penampungan kotoran yang dalam bahasa jawanya Nyemplung.
            Kakus cemplung ini hanya terdiri dari sebuah lubang galian diatasnya diberi lantai dan tempat jongkok, sedang dari tempat jongkok kelubang galian tidak terdapat alat apapun sebagai penyalur maupun penghalang.
Lubang galian terdapat penampungan itu sendiri dapat tanpa diberi pasangan tembok, atau ditembok seluruh bagian dalamnya termasuk dasarnya, sehingga kakus ini bernama kakus cemplung, dapat disebut juga beerput (bila seluruh bagian dalam tempat penampungan itu termasuk dasarnya ditembok), dapat juga disebut zink-put (bila sisi-sisinya saja yang ditembok, sedang dasarnya tidak).
Lantai kakus ini pun dapat dibuat dari bambu atau kayu , tapi dapat juga dari pasangan batu bata atau beton. Agar tidak menjadi sarang dan makanan serangga penyebar penyakit, maka lubang tempat jonkk harus ditutup bila tidak dipakai.Kakus semaca ini masuh menimbulkan gangguan karena bau busuknya.
Cara pembuatannya:
1)      Bat sebuah galian yang berukuran 0,8 m x 0,8 x 3 m.
2)      Atau bila berbentuk silinder diameternya 0,8 m x 3 m, buatlah lantai dari bambu atau kayuyang ukurannya disesuaikan dengan leher galian tadi yang selanjutnya dipasang diatasnya. Bila dikehendaki lantai tersebut dari pasangan bata, maka setelah lubang digali langsung dikerjakan pasangan bata.
3)      Buat tutup atau lubang tempat jongkok.
4)      Buat bangunan rumah kakusnya, boleh dari bambu atau kayu serat bilik dan atasnya dari genting, tapi dapat pula dengan pasangan bata. Ini tergantung dari kemampuan orangnya.
b.      Kakus Plengsengan
Plensengan berasal dari bahasa Jawa (mlengseng) berarti miring.nama itu dipakai karena dari lubang tempat jongok ketempat penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang miring (mlengseng).Jadi tempat jongkok dari kakus ini dibuat/diletakkan persis diatas penampungan, melainkan agak menjauh disampingnya.
Juga kakus ini dapat disebut beerput ataupun zinkput, bila ita memperhatikan konstrusi tempat penampungan kotorannya (lihat kakus cemplung).
            Kakus semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan dari pada kakus cemplung, karena baunya agak berkurang, dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin (tidak ada bahaya kejeblos/terperosok).
Seperti halnya pada kakus cemplung, maka lubang dari tempat jongkok harus dibuatkan tutup.
Cara pembuatannya
Sama seperti kakus cemplung, hanya lantai kakus tidak dibuat diatas tempat penampungan, dan harus memasang saluran yang menghubungkan lubang tempat jongkok dan lubang penampungan kotoran.
Pembuatan kakus cemplung dan kakus plengsengan tidak mengalami kesukaran bila itu diselenggarakan disuatu daerah dimana permuakaan air tanahberada jauh dibawah permukaan tanah, demikian juga daerah yang tidak merupakan daerah banjir diwaktu hujan.Bila penyelenggaraannya berada didaerah yang permukaan air tanahnya dekat sekali dengan permukaan tanah atau yang merupakan daerah banjir diwaktu hujan kita harus selalu selalu ingat bahwa lantai dan tempat jongkok harus ditinggikan dan berada diatas permukaan air setingi waktu banjir.Bagi daerah yang susunan tanahnya mudah runtuh, maka kita tidak hanya membuat gakian biasa untuk tempat penampungan kotoran, tetapi haru mempergunakan selonsong bambu dibagian dalam dari lubang galian itu, atau ditembok sisi-sisinya.
c.       Kakus Bor
Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan mempergunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut boor aunger dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah barang tentu lubang itu harus jauh lebih dalamdibandingkan dengan lubang yang digali seperti pada kakus cemplung atau plengsengan, karena diameter kakus bor ini jauh lebih kecil. Pengeboran pada umumya dilakukan sampai mengenai air tanah. Perlengkapan lainnya dan cara mempergunakan, dapat pula diatur seperti pada kakus cemplung dan kakus plengsengan.
d.      Kakus Angsatrine (Water Seal Laterine)
Kakus ini, dibawak tempat jongkoknya ditempatkan atau dipasangkan suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl.
Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada ditempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung, dengan demikian juga dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran.Karena dapat mencegah gangguan lalat dan bau, maka memberikan keuntungan untuk dibuat didalam rumah.Agar terjaga kebersihannya, kakus semacam ini harus cukup tersedia air.
Cara pembuatannya
1)      Buat lubang galian dengan ukuran dan cara seperti kakus cemplung.
2)      Buat selongsong atau temboklah sisi-sisi dalam dari lubang galian tersebut bila tanahnya mudah runtuh.
3)      Pasang slab yang sudah jadi.
4)      Buat rumah kakusnya atau pasanglah rumah kakusnya bila telah dipersiapkan secara tersendiri.
5)      Kapur rumah kakus tersebut terutama bagian dalam.
3.      Fakto-faktor dalam metode pembuangan tinja
Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam metode pembuangan tinja antara lain faktor non teknis. (Ricki, 2005)
a.       Faktor teknis meliputi:
1)      Faktor dekomposisi ekskreta manusia
Fenomena terjadinya dekomposisi ekskreta manusia memegang peranan yang amat penting dalam perencanaan sistem sarana pembuangan tinja.Banyak sarana pembuangan tinja direncanakan kapasitas serta prinsip kerjanya dengan mendasarkan pada fenomena ini. Dekomposisi ekskreta yang merupakan proses dan berlansung secara alamiah ini melaksanakan 3 aktivitas utama :
a)      Pemecahan senyawa-senyawa organik kompleks seperti protein dan urea kedalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan stabil.
b)      Pengukuran volume dan massa (kadang-kadang sampai mencapai 80%) bahkan yang mengalami dekomposisi dengan menghasilkan gas-gas seperti methan, carbon dioxide, ammonia, dan nitrogen yang dibebaskan ke atmosfir dan dengan menghasilkan bahan-bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap masuk dalam tanah.
c)      Penghancuran organisme pathogenyang dalam beberapa hal tidak bertahan hidup dalam proses-proses dekomposisi atau terhadap serangan kehidupan biologik yang sangat banyak terdapat dalam massa yang mengalami dekomposisi.
Bakteri memainkan peranan utama dalam dekomposisi dan aktivitas bakteri baik aerobik maupun anaerobik melansungkan proses dekomposisi ini.
2)      Faktor kuantitas tinja manusia
Kuantitas kotoran manusia yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi setempat, bukan hanya faktor physiologis, tetapi juga faktor-faktor budaya dan agama. Apabila di suatu daerah tidak tersedia data hasil penelitian setempat maka keperluan perencanaan dapat digunakan angka total produksi ekskreta 1 kg (berat bersih) per orang/hari.
3)      Faktor pencemaran tanah dan air tanah
Pada penemaran tanah dan air tanah oleh ekskreta merupakan informasi penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan sarana pembuangan tinja, khususnya dalam perencanaan lokasi kaitannya dengan sumber-sumber air minum yang ada.Jarak perpindahan bakteri dalam tanah dipengaruhi berbagai faktor, salah satu faktor penting adalah faktor parositas tanah. Perpindahan bakteri air tanah biasanya mencapai jarak kurang dari 90 cm, dan secara vertikal kebawah kurang dari 3 m pada lubang yang terbuka terhadap hujan lebat dan tidak lebih dari 60 cm biasanya pada tanah yang poreus.
4)      Faktor penempatan sarana air tinja
Tidak ada aturan yang pasti untuk menentukan jarak yang aman antara jamban dan air minum, sebab hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kemiringan dan ketinggian air tanah serta permeabilitas tanah.
5)      Faktor perkembangbiakan lalat pada ekskreta
Perlu dihindarkan atau dicegah terjadinya perkembang biakan lalat pada tinja dalam lubang jamban.Kondisi lubang jamban yang gelap dan tertutup sebenarnya sudah dapat mencegah perkembang biakan lalat ini, baik karena kerapatannya maupun karena sifat lalat yang phototropisme positif (tertarik pada sinar dan menjauhi kegelapan atau permukaan yang gelap).
6)      Faktor tutup lubang jamban
Harus diupayakan adanya tutup lubang jamban yang dapat mendorong pemakai jamban untuk memfungsikan sebagaiman mestinya.Dalam konstruksi yang sederhana mungkin hingga pemakai tidak terlalu sulit untuk menggunakannya.


7)      Faktor tekhnis engineering
Dalam perencanaan dan pembangunan sarana pembuangan tinja agar diupayakan:
a)      Penerapan pengetahuan tekhnik engineering, misalnya dalam melakukan pemilihan tipe instalasi sesuai dengan kondisi lapisan tanah yang ada.
b)      Pengguanaan bahan bangunan yang ada setempat untuk dapat melakukan penghematan biaya secara berarti, misalnya pengguanaan bambu untuk penahan runtuhnya dinding lubang, untuk tulang penguat slab dan sebagainya.
c)      Pemilihan dan penentuan desain bangunan instalasi yang dapat ditangani oleh pekerja setempat, juga tenaga terampil yang ada perlu dimanfaatkan semaksimal mungin.
b.      Faktor non teknis:
a.       Faktor manusia
Dalam soal pembuangan tinja, faktor manusia sama pentingnya dengan faktor tekhnis. orang tidak akan mau menggunakan jamban dari tipe yang tidak disukainya atau yang tidak memberikan privacy yang cukup padanya, atau yang tidak dapat dipelihara kebersihannya. Tahap pertama dalam perencanaan system pembuangan tinja disuatu daerah adalah perbaikan system yang sudah ada.Pengembangan system tersebut selanjutnya harus senantiasa mengupayakan pemberian/penciptaan privacy yang secukupnya bagi calon pemakai.Aplikasi dari pada prinsip ini adalah perlunya dilakukan pemisahan yang jelas antara ruang jamban untuk jenis kelamin yang berbeda, perlunya disediakan jumlah ruang jamban yang cukup sesuai dengan jumlah pemakai.Satu lubang jamban cukup untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 atau 6 orang. Jamban umum yang digunakan untuk perkemahan, pasar atau tempat-tempat yang sejenisnya harus disediakan minimal 1 lubang untuk 15 orang dan untuk sekolah 1 lubang jamban untuk 15 orang wanita dan satu lubang + 1 urinoir untuk 25 orang pria.
b.      Faktor biaya
Jenis jamban yang dianjurkan bagi masyarakat dan keluarga harus sederhana, dapat diterima, ekonomis pembangunan, pemeliharaan serta penggantiannya. Faktor biaya ini bersifat relatif, sebab system paling mahal pembuatannya dapat menjadi paling murah untuk perhitungan jangka panjang, mengingat masa penggunaannya yang lebih panjang karena kekuatannya serta paling mudah dan ekonomis dari segi pemeliharaannya. Dalam perencanaan dan pemilihan tipe jamban, biaya tidak boleh dijadikan faktor dominant.Perlu dicarikan jalan tengah berdasarkan pertimbangan yang seksama atas semua unsure yang terkait, yang dapat menciptakan lingkungan yang saniter serta dapat diterima oleh keluarga.
4.      Persyaratan sarana pembuangan tinja yang saniter
Ada tipe jamban dan sarana pembuangan tinja yang akan dipilih intuk dibangun atau diterapkan pada masyarakat harus dapat memenuhi persyratan sebagai berikut: (Ana, 2007)
a)      Tidak terjadi kontaminasi pada tanah permukaan
b)      Tidak terjadi ontaminasi pada air tanah yang mungkin masuk ke mata air dan sumur.
c)      Ekskreta tidak dapat dijangkau oleh lalt, ulat, kecoa dan anjing.
d)     Tidak terjadi penanganan ekskreta segar, apabila tidak dapat dihindari, harys ditekan seminimal mungkin.
e)      Harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap.
f)       Metode yang digunakan harus sederhana seta murah dalam pembangunan dan penyelenggaraan.
g)      Dapat diterima oleh masyarakat
B.     Faktor Yang Mempengaruhi Kepemilikan Jamban
1.      Ekonomi Mayarakat
Persoalan ekonomidi Indonesia ini tak hanya terbatas pada indikator-indikator itu.Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi sering luput dari sentuhan pembangunan, seperti terjangkitnya diare dan penyakit kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di sepanjang kawasan pesisir pantai dan sungai.(Ingga, 2008)
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan, (Ingga, 2008)
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab tingginya jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena perekonomiannya sangat bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan menengah.Keempat bidang utama tersebut adalah perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan perdagangan.Dengan penghasilan pas-pasan, cukup untuk makan saja, mereka sering dijadikan contoh kasus kemiskinan yang melandasi masyarakat terus berusaha mendapat kucuran dana lebih dari pemerintah pusat, (Slamet, 2002)
Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang berprotein, kepemilikan pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita minimal delapan meter persegi, jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban, (Slamet, 2002)
Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa negara tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan tentang kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya juga buruk dan status kesehatannya buruk pula, (Slamet, 2002)
Ketiadaan uang untuk ditabung sehubungan dengan menurunnya pendapatan (karena krisis ekonomi), meningkatnya biaya kontruksi (semenjak 1998 sampai saat ini) serta tak adanya lahan untuk membangun sarana sanitasi lingkungan rumah tangga dan jauhnya sumber air bersih. Umumnya masalah-masalah ini ditemukan pada masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah,(Chandra, 2006)
Di Negara berkembang, sebagai akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, sanitasi lingkungan yang belum diperhatikan masih merupakan masalah utama sehingga munculnya berbagai jenis penyakit menular tidak dapat dihindari dan pada akhirnya akan menjadi penghalang bagi tercapainya kemajuan bidang sosial dan ekonomi. Kondisi ini umumnya terjadi pada masyarakat pedesaan dan daerah kumuh perkotaan, (Chandra, 2006)
Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Limpahan ekskreta manusia dalam berbagai bentuk, khususnya feces, menyebabkan air sungai sewarna keruh.Bau tak sedap menjadi suguhan setiap hari bagi warga sekitar.Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan ekonomi, warga terpaksa tetap menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, di luar kebutuhan.Kandungan limbah yang sangat tinggi, selain pengaruh situasi alam, memunculkan bencana baru berupa panyakit yang meningkat setiap tahun,(Chandra, 2006)
2.      Kebiasaan Masyarakat
Kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relative menetap dan otomatis, (Arif, 2009)
Mengubah kebiasaan adalah sebuah hal yang terlihat sepele, tetapi amat sulit jika ingin kita lakukan. Saya mengalami kesulitan dalam mengubah kebiasaan, terutama ketika sebuah kebiasaan telah berganti menjadi sebuah kenyamanan, tentunya kita akan merasa ganjil jika kebiasaan kita tersebut tidak kita laksanakan,(Rendy Maulana, 2009)
Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat.Pemanfaatan jamban keluarga oleh masyarakat belum sesuai dengan harapan karena masih ada yang buang hajat di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan, misalnya sungai, kebun atau sawah. Hal ini karena kebiasaan (pola hidup) atau fasilitas yang kurang terpenuhi serta pengetahuan, sikap dan perilaku dari masyarakat itu sendiri maupun kurang informasi yang mendukung terhadap pemanfaatan jamban keluarga, (Rendy Maulana, 2009)
Kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan jamban merupakan faktor utama meluasnya penyakit.Kebiasaan masyarakat yang lebih suka membuang hajat di sembarang tempat membuat mereka enggan membuat jamban dirumah masing-masing. Rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat membuat kebiasaan buang air besar di sembarang tempat sulit dihilangkan karena warga lebih suka membuat WC helicopter dari pada membuat jamban dirumah akibat ketiadaan biaya untuk membuat septic tank yang mahal, (Rendy Maulana, 2009)
Ini sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat sendiri yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakt itu sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan bantuan pembangunan jamban dibeberapa tempat yang membutuhkannya, (Rendy Maulana, 2009)
Ketika perilaku masyarakat berubah dalam hal buang air besar maka akan dampak ikutan kearah yang lebih baik. Merajuk kepada ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).Sanitasi yang aman mampu menurunkan resiko diare hingga 36%. Biaya pengobatan pun akan berkurang. Hanya perlu komitmen yang kuat dari masyarakat dan pemerintah untuk harus mendorong upaya peningkatan sanitasi.(Aryani, 2009)
3.      Pengetahuan
Penegetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengalamn manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Sikap dasar manusia adalah keingin tahuan tentang sesuatu. Dorongan untuk memenuhi keinginan tersebut akan menyebabkan seseorang melakukan upaya pencarian. Serangkaian pengalaman selama proses interaksi dalam lingkungan akan mengahasilkan sesuatu pengetahuan bagi orang tersebut, (Notoatmodjo, 2003)
Pengetahuan adalah kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, tahayul, dan penerangan yang keliru. (Notoatmodjo, 2003)
Tentang kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain yang dapat diaplikasikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya) sehingga didalam evaluasi ini akan berkaitan dengan kemampuan untuk melakukanjustivikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objektif, (Notoatmodjo, 2003)
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
1)      Tahu (Know)
2)      Memahami (Comprehension)
3)      Aplikasi (Application)
4)      Analisa (Analisis)
5)      Sintesis (Synthesis)
6)      Evaluasi (Evaluation)
4.      Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, (Yudistira, 2009)
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi, (Yudistira, 2009)
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan meliputi: (Yudistira, 2009)
a.       Pendidikan anak usia dini
b.      Pendidikan dasar
c.       Pendidikan menengah
d.      Pendidikan tinggi
e.       Materi pendidikan
BAB III
KERANGKA KONSEP

A.    Dasar Pemikiran
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
Masyarakat yang ekonominya lemah biasanya kurang memperhatikan kesehatannya karena membuat jamban memerlukan dana yang cukup. Masyarakat menganggap kesehatan adalah hal cukup mahal, dengan ketiadaan dan ekonomi yang kurang maka keluarga tidak mampu membuat jamban keluarga.
Kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan jamban merupakan faktor utama meluasnya penyakit.Kebiasaan masyarakat yang lebih suka membuang hajat di sembarang tempat membuat mereka enggan membuat jamban dirumah masing-masing.
B.     BaganKerangka Konsep
Tingkat ekonomi masyarakat

Kebiasaan masyarakat
Kepemilikan jamban
 




Keterangan:
                                    : Variabel yang diteliti           


C.    Variabel Penelitian
1.      Variabel bebas (independent)
Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkat ekonomi dan kebiasaan masyarakat.
2.      Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kepemilikan jamban.
D.    Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1.      Tingkat ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan kepala keluarga dalam sebulan. Diukur dengan mengunakan skala ordinal yaitu nilai 1 jika responden menjawab ya dan nilai 0 jika responden menjawab tidak.
Kriteria objektif:
a.       Mampu                  : jika responden menjawab ya ≥ 50%
b.      Tidak mampu        : jika responden menjawab ya< 50%
2.      Kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaanyang berlaku dimasyarakat bila akan BAB/BAK. Diukur dengan mengunakan skala ordinal yaitu nilai 1 jika responden menjawab ya dan nilai 0 jika responden menjawab tidak.
Kriteria objektif:
a.       Baik                       : jika responden menjawab ya ≥ 50%
b.      Buruk                    : jika responden menjawab ya < 50%

BAB IV
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Penelitian ini merupaka penelitian deskriptif untuk mengetahui tingkat ekonomi dan kebiasaan masyarakat terhadap kepemilikan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka.
B.     Tempat dan Waktu Penelian
1.      Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka.
2.      Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal28 Juli sampai 28 Agustus 2009.
C.    Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat atau kepala keluarga sebanyak 350 kepala keluarga di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka.
2.      Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat atau kepala keluarga sebanyak 220 kepala keluargadan anggota keluarga yang tidak memiliki jamban dengan caraAccidentalsampling.
D.    Pengumpulan Data
Adapun cara pengumpulan data dalam penulisan:
1.      Data primer yaitu data yang diperoleh dengan melakukan survey dan wawancara langsung dengan responden atau menggunakan kuisioner.
E.     Pengolahan dan Penyajian Data
1.      Pengolahan data
Data yng terkumpul diolah secara manual (tally count) dengan bantuan kalkulator.
Pengolahan data meliputi kegiatan :
a)      Coding adalah membuat atau pembuatan kode pada tiap-tiap data yang termasuk kategori yang sama.
b)      Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan.
c)      Scoring adalah memberi skor pada data yang telah dikumpulkan.
d)     Tabulating adalah membuat tabel yang berisikan data yang telah diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.
2.      Penyajian data
Data yang diproleh disajikan dalam bentuk tabel dan disertai dengan penjelasan tabel.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka mulai tanggal 28 Juli sampai 28 Agustus 2009, dengan jumlah responden 70 orang.Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi: umur, pendidikan, jenis kelamin, serta pekerjaan. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Karakteristik Responden
a.       Umur Responden
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Di Desa DonggalaKecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Umur
n
%
1
20 – 24 Tahun
2
2,86
2
25 – 29 Tahun
14
20
3
30 – 34 Tahun
27
38,57
4
35 – 39 Tahun
16
22,86
5
40 – 44 Tahun
10
14,29
6
> 45 Tahun
1
1,42
Jumlah
70
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 70 responden, menunjukkan umuryang paling banyak adalah umur 30 – 34 tahun yaitu 27 orang (38,57%), sedangkan umur yang paling sedikit adalah umur >45 tahun yaitu 1 orang (1,42%).
b.      Jenis Kelamin
Tabel 2
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis KelaminDi Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Jenis kelamin
n
%
1
Laki-laki
42
60
2
Perempuan
28
40
Jumlah
70
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 2 di atas dari 70 orang responden, menunjukkan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 42 orang (60%). Sedangkan yang paling sedikit adalah perempuan yaitu 28 orang (40%).
c.       Tingkat Pendidikan
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan PendidikanDi Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Pendidikan
n
%
1
SD
51
72,86
2
SLTP/sederajat
16
22,86
3
SLTA/sederajat
2
2,86
4
Sarjana/PT
1
1,42
Jumlah
70
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 3 di atas dari 7 orang responden, menunjukkan pendidikan yang paling banyak adalah SD yaitu 51 orang (72,86%), sedangkan yang paling sedikit adalah Sarjana/PT yaitu 1 orang (1,42%).


d.      Pekerjaan
Tabel 4
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaandi Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Pekerjaan
n
%
1
Pedagang
21
30
2
Wiraswasta
8
11,43
3
Petani
12
17,14
4
Nelayan
15
21,43
5
IRT/tidak bekerja
14
20
Jumlah
70
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4 di atas dari 70 orang responden, menunjukkan pekerjaan yang paling banyak adalah pedagang yaitu 21 orang (30%), sedangkan yang paling sedikit adalah wiraswasta yaitu 8 orang (11,43%).
2.      Variabel Yang Diteliti
a.       Tingkat Ekonomi
Tabel5
Distribusi Tingkat Ekonomi Responden Di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Tingkat ekonomi
n
%
1
Mampu
47
67,14
2
Kurang mampu
23
32,86
Jumlah
70
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5 di atas dari 70 orang responden, menunjukkan bahwa tingkat ekonomiyang paling banyak adalahmampu yaitu 47 orang (67,14%), sedangkan yang paling sedikit adalah mampu yaitu 23 orang (32,86%).
b.      Kebiasaan Masyarakat
Tabel6
Distribusi Kebiasaan Responden Buang Air Besardi Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka
Agustus 2009
No
Kebiasaan
n
%
1
Buruk
55
78,57
2
Baik
15
21.43
Jumlah
70
100
Sumber : Data primer
Berdasarkan tabel 6 di atas dari 70 orang responden, menunjukkan kebiasaan masyarakat yang paling banyak adalah yang tidak memanfaatkan yaitu 55 orang (78,57%), sedangkan yang paling sedikit adalah memanfaatkan yaitu 15 orang (21,43%).
B.     Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian mengenai tingkat ekonomi dan kebiasaan masyarakat terhadap kepemilikan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka pada Agustus 2009 didapatkan 70 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk lebih jelasnya hasil penelitian tersebut dibahas menurut variabel yang diteliti sebagai berikut :
1.      Tingkat ekonomi masyarakat
Hasil penelitian tentang tingkat ekonomi masyarakat yang diperoleh dari 70 responden yang paling banyak adalah ekonomi mampu 47 responden (67,14%) dan yang tidak mampu adalah 23 responden (23,86%).
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan, (Ingga, 2008)
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1999, batas kemiskinan dalam statistik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, pangan serta kebutuhan mendasar lainnya.
Penduduk Indonesia yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54 % saja padahal menurut studi menunjukkan bahwa penggunaan jamban sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28% demikian penegasan Menteri Kesehatan dr. Achmad Sujudi, September 2004, (Depkes RI,2009)
Masyarakat tidak hanya memikirkan sulitnya lokasi dalam pembuatan jamban tetapi juga sarana dan prasarana dalam pembuatan jamban tersebut.Mahalnya bahan bangunan membuat masyarakat enggan berfikir untuk membuat jamban.Masyarakat lebih memilih untuk buang air besar di rawa belakang rumah atau dpinggir sungai.
Pendapatan masyarakat yang kebanyakan sebagai pedagangmasih mampu untuk membeli bahan perlengkapan untuk membuat jamban tetapi kenyataanya masih banyak masyarakat yang memilih tidak membuat jamban.Hal tersebut menimbulkan kurangnya masyarakat yang menggunakan jamban.
Rumah yang kini tidak memiliki jamban lebih didominasi dari kalangan ekonomi lemah saja tapi juga dari kalangan ekonomi mampu dengan pekejaanya sebagai pedagang dan nelayan.Mereka memilih membuat jamban di atas empang atau sungai.
Kendala yang dihadapi warga setempat dalam pembuatan jamban, selain membutuhkan dana besar juga akibat keterbatasan lahan. Dengan demikian, diperlukan alternatif lain dalam penggunaan jamban, dengan biaya pembuatan yang relatif jauh lebih murah dan manfaat yang sama.
Dari 70 responden yang tidak memiliki jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka  tahun 2009 pada umumnya mampu. Hal ini didukung dengan hasil yang didasarkan pada responden yang rata-rata pekerjaanya sebagai pedagang yang dapat penghasilan setiap harinya dengan keliling berjualan.Berdasarka hasil penelitian dan standar yang dipakai dalam menentukan tingkat ekonomi, maka dapat dikemukakan bahwa kepemilikan jamban di Desa Donggala lebih banyak yang ekonominya mampu.
2.      Kebiasaan
Dari hasil penelitian tentang kebiasaan masyarakat dari 70 responden yang paling banyak adalah tidak memanfaatkan 55responden (78,57%) dan yang memanfaatkan adalah 15 reesponden (21,43%).
Kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relative menetap dan otomatis.
Mengubah kebiasaan adalah sebuah hal yang terlihat sepele, tetapi amat sulit jika ingin kita lakukan. Saya mengalami kesulitan dalam mengubah kebiasaan, terutama ketika sebuah kebiasaan telah berganti menjadi sebuah kenyamanan, tentunya kita akan merasa ganjil jika kebiasaan kita tersebut tidak kita laksanakan. (Rendy Maulana, 2009)
Ini sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat sendiri yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun menjadikan pesisir pantai dan empang sebagai WC umum tempat membuang hajat setiap harinya.
Dari 70 responden yang tidak memiliki jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka tahun 2009 pada umumnya memiliki kebiasaan yang buruk.Hal ini didukung oleh factor kemalasan dan sudah membudayanya kebiasaan buang air besar disembarang tempat.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang tingkat ekonomi dan kebiasaan masyarakat terhadap kepemilikan jamban di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tingkat ekonomi masyarakat terhadap kepemilikan jamban diketegorikan mampu.
2.      Masyarakat di Desa Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka mempunyai kebiasaan buruk terhadap kepemilikan jamban.
B.     Saran
Dengan memperhatikan hasil penelitian dengan segala keterbatasan yang dimiliki peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Perlu peran pemerintah daerah dalam program pembuatan jamban gratis dan penyuluhan yang telah dijalankan pemerintah pusat.
2.      Perlu dilakukan perubahan kebiasaan terhadap buang air besar disembarang tempat  dan bahaya yang ditimbulkan dari buang air besar disembarang tempat.

4 komentar: